Mengenal Advokat Pribumi Pertama : Besar Martokoesoemo
Besar Martokoesoemo (Foto : www.tirto.id, 9/8/2018) |
ADVOKAT INDONESIA. Siapa menduga Kota Tegal yang lebih dikenal dengan bisnis rumah
makannya yang familiar disebut sebagai
Warteg (Warung Tegal) ternyata menyimpan
sejarah praktek pengacara pertama kali di Indonesia. Ternyata di kota inilah awalnya kantor hukum pribumi
pertama berdiri dan beraktivitas memberikan pembelaan dan bantuan hukum.
Adalah Besar Martokoesoemo, advokat pribumi pertama yang
mendirikan dan memulai aktivitasnya sebagai advokat dari kota bahari ini. Ya,
menurut Daniel S. Lev dalam bukunya Daniel Lev dalam bukunya No Concessions: The Life of Yap
Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyer (2011: 67), “pada 1923,
Besar Martokoesoemo, memulai prakteknya di Kota Tegal. Dan Advokat
pribumi pertamanya yang mendirikan kantor tersebut adalah Besar Martokoesumo. (www.tirto.id, 9/8/2018).
Sebagaimana
dituli Petrik Matanasi dalam situs Tirto.id (9/8/2018), Besar Martokoesoemo terlahir sebagai anak
priyayi rendah. Di masa kolonial, hidupnya tergolong beruntung. Laki-laki
kelahiran Brebes, 8 Juli 1894 ini adalah putra dari Mas Soemoprawiro
Soemowidjojo, seorang mantri gudang garam di Pemalang. Menurut catatan Anton E.
Lucas dalam The Bamboo Spear Pierces the Payung: the Revolution Against
the Bureaucratic Elite in North Central Java in 1945 (1983: 450), “dia
dinamai Besar oleh ayahnya karena dia lahir di bulan ke-sepuluh dalam kalender
Islam.”
Sebagai anak priyayi, dia disekolahkan di sekolah elite kolonial. Mulai dari SD di Europeesche Lagere School (ELS) di Pekalongan. Lalu sekolah menengahnya dienyam di Hogere Burger School (HBS) Semarang.
HBS tak ditamatkannya, karena dia masuk Recht School (sekolah hukum, yang sering diartikan sebagai sekolah kehakiman) di Betawi. Menurut catatan Medan Prijaji, Th. III, (1909: 467-470) seperti dikurasi Iswara N.R. dalam buku Kronik Kebangkitan Indonesia: 1908-1912 (2008: 229), namanya tercantum sebagai salah satu siswa ketika sekolah ini di buka pada pertengahan tahun 1909. (Tirto.id (9/8/2018).
Setelah
menamatkan Recht School , tahun 1915 Besar Martokoesoemo ditempatkan
di Pekalongan sebagai Ambtenaar ter Beschikking (pegawai yang
diperbantukan) pada Ketua Pengadilan Negeri.
Pada
tahun 1919, Besar dipindahkan ke Pengadilan Negeri (landraad) Semarang. Di pengadilan rendah yang
biasa mengadili perkara hukum warga negara kelas tiga alias pribumi itu, Besar
melihat betapa rendahnya orang-orang pribumi. Menurut Sudiro, Besar sadar
dirinya bukan murid yang cerdas di sekolah, tapi ia tak mau berpuas diri dengan
hanya bekerja di pengadilan rendah.
Besar
bertekat untuk mengambil gelar sarjana hukum (Meester in
Rechten (Mr). Dengan gelar Mr. Sudah pasti kariernya bisa lebih baik
dari sekedar pengacara pokrol bambu karena memang sekolah hukum yang baru
ditamatkannya hanya setingkat SMA.
Besar
kemudian dengan biaya sendiri meneruskan kuliah hukumnya ke Universitas Leiden,
Belanda dan tamat pada tahun 1923. Setelah pulang ke Hindia Belanda, tentu saja
dengan menggondol gelar Mr di depan namanya, adalah modal besar baginya untuk
membuka praktik pengacara.
Menurut Sudiro, “Besar tidak sudi menjadi pegawai dari
pemerintah penjajahan lagi. Padahal tawaran-tawaran dengan gaji yang besar
berkali-kali disampaikan padanya. Beliau telah memilih pekerjaan swasta sebagai
advokat (pengacara).”
Kiprahnya sebagai pengacara yang buka praktik dan berkantor, menurut Iskaq Tjokroadisurjo seperti dicatat Sudiro (1986), diikuti oleh Mr. Soejoedi di Yogyakarta, Mr. Soewono di Surabaya, dan Iskaq sendiri buka di Jakarta. Waktu pemimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) diburu aparat kolonial, para pengacara Indonesia ini datang membela (hlm. 30-31).
Menurut Daniel Lev dalam No Concessions: The Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyer (2011: 67), “pada 1923, Besar Martokoesoemo, memulai prakteknya di Tegal.” Dia terbilang suka membantu orang berpendidikan yang punya kemauan seperti dirinya untuk jadi pengacara.
Ada yang menyebut dia juga jadi pengacara di Semarang. “Tiap minggu 2 kali beliau naik kereta api Semarang — Tegal pulang pergi,” tulis Sudiro. Seperti Lev, Sudiro juga menyebut Mr. Besar Martokoesoemo juga pengacara yang buka praktik pertama kali di Indonesia.
Besar terlibat dalam pergerakan nasional, menurut catatan yang dikumpulkan Gunseikanbu—yang belakangan dibukukan menjadi Orang-orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (1986: 54), laki-laki berpakaian necis yang kerap jadi pengacara untuk orang-orang Belanda di Semarang ini pernah menjadi Ketua Boedi Oetomo cabang Tegal dari 1934 hingga 1939 dan Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra) dari 1939 hingga 1940.
Meski di zaman kolonial dia pernah ogah jadi ambtenar, di zaman Jepang, setelah hampir dua dekade jadi pengacara di Tegal dan Semarang, Besar Martokoesoemo rela jadi pamongpraja. Setelah Hindia Belanda bubar dan Jepang berkuasa, daerah-daerah yang diduduki Jepang kekurangan birokrat, karena birokrat Belanda-Eropa banyak masuk kamp tawanan.
Akhirnya Besar diangkat sebagai Walikota Tegal, Bupati Tegal, lalu Wakil Residen Pekalongan. Ketika Indonesia merdeka, dia pernah diangkat pula jadi Residen Pekalongan, kemudian Semarang.
Kiprahnya sebagai pengacara yang buka praktik dan berkantor, menurut Iskaq Tjokroadisurjo seperti dicatat Sudiro (1986), diikuti oleh Mr. Soejoedi di Yogyakarta, Mr. Soewono di Surabaya, dan Iskaq sendiri buka di Jakarta. Waktu pemimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) diburu aparat kolonial, para pengacara Indonesia ini datang membela (hlm. 30-31).
Menurut Daniel Lev dalam No Concessions: The Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyer (2011: 67), “pada 1923, Besar Martokoesoemo, memulai prakteknya di Tegal.” Dia terbilang suka membantu orang berpendidikan yang punya kemauan seperti dirinya untuk jadi pengacara.
Ada yang menyebut dia juga jadi pengacara di Semarang. “Tiap minggu 2 kali beliau naik kereta api Semarang — Tegal pulang pergi,” tulis Sudiro. Seperti Lev, Sudiro juga menyebut Mr. Besar Martokoesoemo juga pengacara yang buka praktik pertama kali di Indonesia.
Besar terlibat dalam pergerakan nasional, menurut catatan yang dikumpulkan Gunseikanbu—yang belakangan dibukukan menjadi Orang-orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (1986: 54), laki-laki berpakaian necis yang kerap jadi pengacara untuk orang-orang Belanda di Semarang ini pernah menjadi Ketua Boedi Oetomo cabang Tegal dari 1934 hingga 1939 dan Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra) dari 1939 hingga 1940.
Meski di zaman kolonial dia pernah ogah jadi ambtenar, di zaman Jepang, setelah hampir dua dekade jadi pengacara di Tegal dan Semarang, Besar Martokoesoemo rela jadi pamongpraja. Setelah Hindia Belanda bubar dan Jepang berkuasa, daerah-daerah yang diduduki Jepang kekurangan birokrat, karena birokrat Belanda-Eropa banyak masuk kamp tawanan.
Akhirnya Besar diangkat sebagai Walikota Tegal, Bupati Tegal, lalu Wakil Residen Pekalongan. Ketika Indonesia merdeka, dia pernah diangkat pula jadi Residen Pekalongan, kemudian Semarang.
Sebagaimana ditulis Petrik Matanasi dalam situs Tirto.id, 8/9/2018 jabatan
terakhir Besar Martokoesoemo setelah Indonesia merdeka adalah Sekretaris
Jenderal Departemen Kehakiman. Jabatan itu diemban hingga 1958. Ketika dia
mengemban jabatan tesebut, dia pernah didatangi praktisi hukum muda yang sedang
kuliah di Australia. Saat itu, Besar disodori sebuah ide besar.
Pemuda itu begitu bersemangat agar terbentuk lembaga bantuan hukum sebagai divisi pembelaan di Departemen Kehakiman atau Kejaksaan Agung seperti model Public Defender di Amerika Serikat. Si orang muda tahu belaka reputasi Besar. Orang muda itu kemudian berkisah dalam bukunya, Pergulatan Tanpa Henti Volume 1 (2004: 205-206).
Pemuda yang jadi pengacara idealis itu tak lain adalah Adnan Buyung Nasution. Kepada Besar, laki-laki yang dikenalnya sebagai “jurist Indonesia (pribumi) yang pertama kali berhasil menjadi advokat pada zaman Belanda, masa sebelum perang”, itulah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) awal-awal dibicarakan.
Pemuda itu begitu bersemangat agar terbentuk lembaga bantuan hukum sebagai divisi pembelaan di Departemen Kehakiman atau Kejaksaan Agung seperti model Public Defender di Amerika Serikat. Si orang muda tahu belaka reputasi Besar. Orang muda itu kemudian berkisah dalam bukunya, Pergulatan Tanpa Henti Volume 1 (2004: 205-206).
Pemuda yang jadi pengacara idealis itu tak lain adalah Adnan Buyung Nasution. Kepada Besar, laki-laki yang dikenalnya sebagai “jurist Indonesia (pribumi) yang pertama kali berhasil menjadi advokat pada zaman Belanda, masa sebelum perang”, itulah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) awal-awal dibicarakan.
Sebelum meninggal dunia pada 23 Februari 1980, Besar pernah jadi
Ketua Umum Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI) sejak 1965. Menurut
catatan Sudiro, dia meninggalkan satu istri, empat anak, dan 20 cucu. Waktu
meninggal, dia juga sudah jadi buyut.
Sumber
: https://tirto.id/mr-besar-martokoesoemo-advokat-pribumi-pertama-kelahiran-brebes-cQJ6
Posting Komentar untuk "Mengenal Advokat Pribumi Pertama : Besar Martokoesoemo"