Menuju Satu Dewan Kehormatan Advokat
Sidang Gugatan Peradi Fauzie Hasibuan terhadap Peradi Juniver Girsang (foto : www.viva.co,id/Edwin Firdaus) |
Oleh Zenwen Pador
Luhut MP Pangaribuan dalam opininya berjudul “Organisasi Advokat, Apa yang Dicari?”, menyerukan pentingnya
keberadaan sebuah Dewan Kehormatan Advokat yang satu. (Kompas, 22/9/2018).
Sudah pasti urgensinya salah satunya untuk mencegah maraknya
advokat yang lompat pagar. Setelah bermasalah pada sebuah organisasi advokat
kemudian dengan mudah berpindah ke
organisasi advokat lainnya dan kembali berpraktek sebagai advokat.
Ironisnya
kemudian advokat yang bersangkutan kemudian memegang posisi penting di
kepengurusan bahkan menjadi anggota dewan kehormatan pada organisasi advokat
pelariannya.
Selain itu menurut Luhut mewujudkan satu dewan kehormatan
adalah juga sebagai alternatif sementara untuk menyelesaikan kisruh dan
perpecahan yang saat ini tengah terjadi di Perhimpunan Advokat Indonesia
(Peradi). Menyatukan kembali advokat dalam satu organisasi (singel bar)
sepertinya menjadi sesuatu yang mustahil dalam waktu dekat ini.
Apalagi selain
Peradi juga telah ada Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang kabarnya juga telah
pecah menjadi dua organisasi dan sama-sama mengklaim sebagai KAI yang sah.
Selain itu setidaknya menurut Luhut sudah ada 10 (sepuluh)
organisasi advokat selain Peradi dan KAI. Setiap organisasi melakukan
pengangkatan dan kemudian mengajukan
untuk disumpah sebelum memangku jabatannya sebagai advokat di hadapan
pengadilan tinggi.
Kecenderungannya saat ini pengadilan tinggi menerima semua permohonan pengambilan sumpah tanpa
mempersoalkan dari organisasi mana pengajuan sumpah tersebut berasal. Hal ini
dikarenakan MA menurut Luhut sudah menyatakan tidak hendak memasuki lagi
perpecahan internal organisasi advokat, tetapi menyerahkan penyelesaiannya pada
advokat itu sendiri dengan atau tanpa UU Advokat Baru.
Ironisnya saat ini dengan merebaknya organisasi advokat baru
menjadi advokat pun sepertinya menjadi lebih mudah. Ada kecenderungan semangat
merekrut anggota sebanyak mungkin menjadikan organisasi advokat beda tipis
dengan organisasi masyarakat (ormas). Setidaknya saat ini jumlah advokat baru
meningkat tajam setidaknya tembus angka 100.000 advokat baru menurut Luhut
Pangaribuan.
Ironisnya peningkatan jumlah advokat tersebut mengabaikan
standar rekruitmen anggota atau setidaknya masing-masing organisadi advokat
menerapkan standar dan parameter yang berbeda dalam meluluskan seseorang
menjadi advokat hingga kemudian bisa disumpah oleh pengadilan tinggi dan
kemudian berpraktek sebagai advokat.
Maka yang sangat relevan saat ini ketimbang berkutat untuk
tetap mempertahan satu sistem organisasi advokat yang tunggal (singel bar) menurut
Luhut Pangaribuan penting untuk menerapkan suatu standar profesi yang bermutu dan satu. Standar profesi ini setidaknya
meliputi seleksi (perekrutan) advokat yang terdiri dari pendidikan dan magang,
pengawasan dan atau kode etik advokat yang ditegakkan melalui satu dewan kehormatan.
Saya sepakat bahwa organisasi boleh banyak dan beragam. Tetapi
ketika bicara profesionalitas dan kode etik tentunya harus satu. Satu standar
profesi dan satu kode etik yang diterapkan dan mengikat bagi seluruh advokat.
Bagaimanapun dibutuhkan komunikasi dan koordinasi yang
intens antar organisasi advokat yang ada untuk mewujudkannya. Dibutuhkan
keikhlasan masing-masing elit organisasi advokat untuk mau duduk bersama dan
kembali merumuskan terwujudkan satu standar profesi dan satu dewan kehormatan
advokat.
Langkah ini penting untuk tetap menjadikan profesi advokat
sebagai profesi yang mulia dan terhormat.
Ke depan kita tentunya tak ingin lagi mendengar adanya advokat yang
tertangkap tangan, kena OTT KPK bersama kliennya karena tuduhan suap dan
sejenisnya.
Depok, 22 September
2018
Posting Komentar untuk "Menuju Satu Dewan Kehormatan Advokat"