Bolehkah Presiden Intervensi Penegakan Hukum?
Novel Baswedan (Foto: Tempo) |
Oleh Zenwen Pador
Presiden Jokowi meyakini bahwa Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak boleh mengintervensi penegakan hukum. Proses penegakan hukum adalah ranah yang independen dan mandiri.
Namun di sisi lain
keyakinan itu juga yang sepertinya membuat Jokowi banyak dikritik dalam konteks
penegakan hukum kasus Novel Baswedan yang memang sepertinya jalan di tempat.
Banyak kalangan mempertanyakan komitmen penegakan hukum dan anti korupsi
Jokowi.
Sementara pada kubu
lain, Prabowo Subianto berpendapat Presiden
seharusnya menjadi pimpinan tertinggi aparatur penegakan hukum (chief of law enforcerment officer) yang
mestinya bisa menindak kepolisian, kejaksaan dan instansi penegak hukum lainnya
bila lambat dalam menangani sebuah kasus.
Pandangan manakah yang
benar secara hukum. Dan sesungguhnya untuk konteks Indonesia saat ini posisi
dan peran seperti apa yang seharusnya dimainkan Presiden dalam penegakan hukum?
Indonesia adalah negara hukum dan
tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Pasal 2 UU
No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian menegaskan fungsi kepolisian adalah salah satu
fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Selanjutnya Pasal 4
menegaskan Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan
dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat,
tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Sementara dalam Pasal 8 UU
yang sama menyebutkan Kepolisian
Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden, dipimpin oleh Kapolri yang
dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara,
dalam sistem daulat hukum demokrasi
konstitusional Indonesia, Presiden punya tanggung jawab dalam penegakan hukum
melalui tiga institusi. Pertama, institusi pejabat tata usaha negara (PTUN) non
atau kuasi yudisial, seperti kementerian dan jajarannya, lembaga pemerintah
non- kementerian—baik sipil maupun militer, dan jajarannya, pemda dan
jajarannya.
Kedua, institusi Polri sebagai penyidik yang punya wewenang penyelidikan dan penyidikan segala rupa perkara pidana, mulai dari urusan rumah tangga sampai urusan publik.
Kedua, institusi Polri sebagai penyidik yang punya wewenang penyelidikan dan penyidikan segala rupa perkara pidana, mulai dari urusan rumah tangga sampai urusan publik.
Ketiga, institusi kejaksaan sebagai penuntut umum.
(Abdul Hakim Garuda Nusantara, Kompas, 5/1/2015).
Tugas utama kejaksaan adalah membawa perkara yang sudah disidik oleh Kepolisian
untuk ajukan penuntutan dalam sidang pengadilan.
Sementara itu menurut Profesor Mahfud
MD, campur tangan presiden ke dalam ranah penegakan hukum bukan berarti
presiden mengintervensi proses hukum. Sebab, keduanya adalah hal yang berbeda.
Presiden tidak boleh ikut
campur ke pengadilan, tidak dapat melakukan intervensi terhadap proses
pengadilan, karena itu sudah termasuk ranah yudikatif yang sifatnya independen.
Misalnya, mempengaruhi hakim.
Akan tetapi, hal sebaliknya bisa dilakukan Presiden terhadap lembaga
penegak hukum yang berada di bawah kekuasaan eksekutif, yakni kepolisian dan
kejaksaan. “Presiden kalau ke Jaksa Agung dan Kapolri itu bisa intervensi,”
ucap dia.
Ia mencontohkan, presiden bisa mengeluarkan semacam instruksi kepada
kepolisian dan kejaksaan, dua institusi penegak hukum yang selama ini
terbelenggu kolusi. “Jadi presiden mengeluarkan instruksi, kepada polisi dan
jaksa. Bukan intervensi itu namanya,” ujar Mahfud. (Tempo, 5/12/2016).
Saya sependapat dengan Profesor Mahfud bahwa campur tangan Presiden dalam
penegakan hukum bukan berarti intervensi proses penegakan hukum. Sepanjang yang
dilakukan Presiden adalah memastikan bahwa instansi yang berada di bawah
kewenangannya bekerja sesuai tugas dan wewenangnya sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku maka itu bukan intervensi. Sebaliknya itulah
kewajiban Presiden selaku kepala Pemerintahan untuk mendorong percepatan
penegakan hukum oleh aparat penegak hukum yang berada di bawah kewenangannya.
Namun ketika sebuah perkara sudah masuk ke ranah peradilan, Presiden sudah
barang tentu tidak bisa ikut campur tangan kecuali memastikan Kejaksaan yang
bertugas sebagai penuntut umum bekerja secara profesional.
Namun demikian dalam proses penyidikan maupun penuntutan Presiden tidak
bisa juga serta merta melakukan intervensi, apalagi misalnya kasus yang masuk
merupakan berdasarkan laporan masyarakat. Menurut saya wewenang Presiden harus
juga sampai memastikan bahwa laporan sudah diproses sesuai Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.
Sudah barang tentu dengan mekanisme sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Pastinya Presiden bisa bertanya dan mengevaluasi kinerja penyidikan dan
penututan melalui Kapolri dan Jaksa Agung agar juga mengevaluasi kinerja Kepala
Polda atau kepala Kejaksaan Tinggi serta selanjutnya secara berjenjang
melakukan evaluasi terhadap jajaran di bawahnya. Apalagi untuk kasus-kasus yang
menjadi perhatian publik dan berpengaruh besar dalam masyarakat. Misalnya untuk
kasus penyiraman air keras yang dialami penyidik KPK, Novel Baswedan
Untuk kasus Novel, Markas Besar Kepolisian RI akhirnya membentuk tim
gabungan untuk menindaklanjuti kasus Novel Baswedan awal 2019. Kepala Divisi
Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal mengatakan tim gabungan itu
merupakan tidak lanjut dari rekomendasi Komnas HAM akhir Desember 2018.
Dalam surat tugas Kapolri, anggota
dalam tim gabungan kasus Novel Baswedan ini berjumlah 65 orang terdiri dari
perwakilan KPK 6 orang, perwakilan pakar 7 orang, dan sisanya dari kepolisian
sebanyak 52 orang. Beberapa nama tokoh perwakilan dari pakar dalam tim gabungan
ini yakni mantan Wakil Ketua KPK periode Februari-Desember 2005 Indriyanto Seno
Adji, guru besar Fakultas Hukum UI. Ada pula Hermawan Sulistyo dari LIPI.
(Tempo.co.id, 12/1/2019).
Saya yakin pembentukan TGPF ini
dalam kendali Presiden Jokowi. Sekalipun dinilai lambat, semoga kesan lambat
ini hanya karena karena Presiden masih memberikan kepercayaan penuh kepada
Kepolisian yang sudah barang tentu menghadapi berbagai kendala dalam proses
penyidikan. Namun setelah adanya rekomendasi Komnas HAM mau tidak mau Presiden
harus juga mendengarkan pendapat pihak eksternal dan publik bahwa Kepolisian
perlu didukung untuk mengungkap kasus ini.
*****
*****
Posting Komentar untuk "Bolehkah Presiden Intervensi Penegakan Hukum?"